Langsung ke konten utama

Titian Teras & Senioritas

Kampus Titian Teras
Aku teringat, ketika dalam perjalanan ke Jambi, bersama kawan-kawan dan Guru pembimbingku dari SMP N 1 Muara Bungo. Waktu itu adalah momen buruk dalam hidupku. Aku muntah-muntah, mabuk darat. Rasanya habis sudah isi perut, sekalian usus-ususnya. Kepalaku lemas dipangkuan Guruku. Sambil liat sisi jalan ia bilang, "Tengok ni sebelah kanan, SMA Titian Teras. Paling bagus se-Jambi. Sekolah militer", juga info penting untuk yang lain. Dalam hati aku bergumam, untuk apa aku harus sekolah jauh-jauh, kalau setiap pulang aku harus muntah 7 kali dalam sekali perjalanan. Lagipula pasti banyak kekerasannya. Takdir bicara lain. Dua tahun kemudian, aku adalah siswa Titian Teras.

Sebelumnya tidak pernah aku berpikir akan merantau jauh hanya untuk sebuah SMA. Teman-teman di SMP memang sudah banyak yang berencana merantau. Tapi aku sudah lumayan nyaman di Bungo. Maksudku, aku tidak pernah benar-benar jauh dalam waktu yang lama dari kota ini. Lagipula siapa yang akan bantu Ayah Ibu di kedai lagi sebagai pengganti aku. Tapi Ayah benar-benar bersikeras. Dengan berbagai cara, Alhamdulillah aku masuk Titian Teras. 
Ilustrasi
Aku tahu bahwa Titian Teras adalah sekolah militer, di mana siswa hidup di lingkungan asrama. Tapi kenyataan lebih buruk dari yang aku bayangkan. Kelas 10 di Titian Teras adalah masa-masa yang sudah tidak mau aku ingat-ingat lagi. Siswa lebih merasa menjadi babu daripada seorang pelajar di kelas 10. Senioritas terlalu berlebihan. Disiplin militer tidak sepenuhnya buruk, yang buruk adalah rasa keharusan untuk tunduk sepenuhnya terhadap senior. Dari senioritas muncul rasa takut yang berlebihan. Aku merasa bukan lagi seperti aku yang dulu. 

Kelas 11 adalah masa SMA yang sesungguhnya. Apa yang kau perjuangkan di SMA, tercermin dari apa yang kau lakukan di masa ini. Aku mengasah bakatku, pun begitu dengan siswa lain. Masa ini jauh lebih ringan karena kita tidak lagi di kasta terbawah. Sebagian menjadi kakak kelas yang baik, sebagian lagi tidak. Aku tidak menyalahkan siapa pun, karena hal-hal yang dimulai dengan buruk, selanjutnya juga akan buruk. 

Awal tahun 2012 SMA Titian Teras berubah dari sekolah swasta menjadi sekolah negeri. Artinya juga pihak sekolah tidak lagi memegang kendali secara penuh. Pemerintah menekankan untuk dihilangkannya senioritas berlebihan. Hal yang bagus menurutku, bahkan sesuai harapanku. Memang itu harus terputus, walau aku harus bersabar dengan yang sudah terjadi padaku. Masalahnya, bagaimana dengan mereka yang tidak ikhlas. Entah perasaanku saja, angkatanku sudah begitu sialnya. Sudah tertindas, tapi tidak bisa membalas. Dulu walau ada pamong (guru) pun, mereka acuh saja dengan apa yang kami alami. Kenapa tidak dari dulu segala bentuk penindasan pada adik kelas dilarang. 
Bersama teman kelas XA
Aku sendiri akhirnya tidak lagi pusing dengan masalah senioritas tadi. Aku sabar dan ikhlas. Semoga angkatanku juga menjadi angkatan yang sabar dan ikhlas. Lagipula ada hal-hal lain yang harus diperjuangkan di SMA ini. Waktu tidak terasa dan akhirnya kami naik kelas 12, tahun terakhir di sekolah. Sepertinya masa-masaku di SMA hanya diisi perjuangan dan belajar saja. Kami masing-masing menatap ke depan tujuan dan sekaligus sadar hanya sebentar lagi bahwa kita yang sudah bosan hanya ketemu orang yang itu-itu saja, makan yang itu-itu saja, belajar yang itu-itu saja, nanti akan sangat dirindukan. 

Kenyataannya aku memang tidak suka mengingat-ingat masa di Titian Teras. Aku berharap, walau masih sekolah militer, tidak ada lagi hal-hal yang menghantui dan menakut-nakuti siswa. Kami ingin belajar, bukan ditakuti. Aku sendiri menyadari perubahan besar pada mentalku setelah masa kelam kelas 10, begitu juga siswa yang lain. 

Apa yang didapatkan masing-masing orang dari Titian Teras, tentu tergantung pribadi masing-masing. Hal yang baik patut dihargai, hal yang buruk patut dijauhi, dihilangkan. Aku bersyukur bisa sekolah di Titian Teras. Walaupun dengan banyak kurangnya, aku bisa melihat kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik kelas yang hebat. Selain itu, guru-guru di sini juga profesional. Lingkungan sekolah yang bagus memotivasi siswa untuk memiliki mimpi dan target. Aku bahkan tidak bisa membayangkan, entah bagaimana aku sekarang jika aku dulu tidak mau masuk ke Titian Teras. 
Nama Baru Sekolah
Teruslah menjadi lebih baik Titian Teras.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Ilmiah dan Hausarbeit

Aku bersyukur sekarang berkuliah di Jerman. Aku akan cerita sedikit tentang pendidikan di sini. Para pelajar asing seperti aku dari luar Uni Eropa yang akan ambil S1 di Jerman, harus menyelasaikan  sekolah penyetaran (Studienkolleg) selama 2 semester. Aku akhirnya bisa masuk Studienkolleg Nordhausen. Di Studienkolleg ini para pelajar belajar beberapa mata pelajaran setara SMA dalam bahasa Jerman. Di Studienkolleg Nordhausen, berbeda dengan banyak Studienkolleg lain, di sini ada tambahan tugas. Pelajar juga harus menyelesaikan  Hausarbeit di semester 1, lalu mempresentasikan tugas Hausarbeit ini di semester 2.  Lalu apa itu  Hausarbeit ? Inilah yang lebih mirip karya ilmiah di Indonesia. Tapi tidak begitu rumit. Berbeda dengan Karya Ilmiah, pada  Hausarbeit  siswa hanya diharuskan merumuskan suatu pertanyaan ilmiah yang kemudian dijelaskan dalam suatu makalah. Siswa mengumpulkan informasi dari buku-buku, artikel, koran, ataupun halaman intern...

Awal di Jerman

Late Post from January 2016 Sebagian orang bermimpi agar bisa menggapai sesuatu, tapi dulu bahkan aku tidak berpikir untuk kuliah ke luar negeri. Sekarang aku sudah sekitar setahun lebih di Jerman menyelesaikan penyetaraan dan Insya Allah sebentar lagi akan kuliah S1. Kampus Studienkolleg Nordhausen Aku berminat kuliah ke Jerman ketika sekolah di Titian Teras bersama Ahmad Mustain Billah. Saat-saat yang sulit adalah proses sebelum berangkat ke Jerman, dan ia lah yang sangat banyak membantu aku ketika itu. Sekarang kami tidak lagi di kota yang sama di Jerman. Aku baru saja lulus Penyetaraan SMA di Studienkolleg Nordhausen, sedangkan dia juga di saat yang hampir sama lulus di Studienkolleg Wismar. Hal pertama yang membingungkan dalam kuliah di luar negeri tentulah bahasa. Sayangnya aku bukanlah penggemar pelajaran bahasa. Setamat SMA, kami mengikuti kursus bahasa Jerman sambil mengurus keperluan berangkat. Alhamdulillah, aku akhirnya bisa menguasai dasar bahasa Jerman...